Kamis, April 23, 2015

Verb Phrase, Tenses, and Subject - Verb Agreement



Verb Phrase
In simple words, a verb of more than one word is called a verb phrase. It is a phrase consisting of a verb, its auxiliaries (helping verbs), its complements, and other modifiers. Auxiliary verbs always come before the main verb.
A verb phrase is a syntactic unit that corresponds to the predicate. There are two types of auxiliary verbs. Inflected auxiliary verbs e.g. be, have, do and Modal auxiliary verbs e.g. will, should, must etc.
Below are some verb phrase examples with explanation:
She has taken the job. (Auxiliary has + main verb taken)
Mom is making the room.  (auxiliary is  +  main verb  make)
He did sing at the party.      (auxiliary do  +  main verb sing)
He has been coming late everyday.     (auxiliaries has been + main verb take)

Tenses
In grammar, tense is a category that expresses time reference. Tenses are usually manifested by the use of specific forms of verbs, particularly in their conjugation patterns.
Basic tenses found in many languages include the past, present and future. Some languages have only two distinct tenses, such as past and non-past, or future and non-future. There are also tenseless languages, like Chinese, which do not have tense at all. On the other hand, some languages make finer tense distinctions, such as remote vs. recent past, or near vs. remote future.
Tenses generally express time relative to the moment of speaking. In some contexts, however, their meaning may be relativised to a point in the past or future which is established in the discourse (the moment being spoken about). This is called relative (as opposed to absolute) tense. Some languages have different verb forms or constructions which manifest relative tense, such as pluperfect ("past-in-the-past") and "future-in-the-past ".

Subject – Verb Agreement
Subject-Verb agreement is a rule which states that the number present in a noun must agree with the number shown in the conjugated form of the verb that is being used, and that the person of the noun must agree with the person of the conjugated form of the verb that you are using.
Proper Subject-Verb agreement:
TO BE: I am - you are - he is - we are - you are - they are
TO WORK: I work - you work - he works - we work - you work - they work

Where the subject is a pronoun or complex or modified as part of an adjectival phrase, or modified by parenthetic expressions, or clarified in meaning by common knowledge or something that occurs later in the sentence, then subject-verb agreement can become a little more complicated. Some grammar rules say that the complex part of the subject closest to verb in the sentence should determine the verbal agreement. However, many examples can be found that make this sound funny. A better rule is to consider the entire complex subject phrase as one subject, and then think about what kind of thing it represents.Whatever the  represents can be considered singular or plural, and that is what the verb should agree with.
The president and the children (plural) are at the party.
Neither the president nor the children (plural) are at the party.
Either the president or the children (plural) are at the party.
Neither the children nor the president (plural) are at the party.
Somebody (singular) is at the party.
Nobody (singular) is at the party.
We (plural 1st person) are at the party.
I (singular 1st person) am at the party.
The Three Musketeers (singular-book) is a good book.
Ten dollars (singular) is enough to buy the book.
Ten dollars (plural) are in my pocket.
Economics (singular subject of study) is an interesting subject.
Bryans and Hastings (singular supermarket) is a great place to shop.
The idea of serving frankfurters (singular idea) is a good one.
My sister is (singular) with my friend, Roberta, at the party.
My sister and my friend are (both) at the party.

In many cases, the author decides whether the subject represents something singular or plural, depending upon which idea is desired to be expressed. For example, a group can act as a whole (singular) or as a group of individuals (plural), and despite many attempts at making rules for this, there is no simple rule that covers all cases:
All of my family is going camping.
Most of my family is at the party.
All of my family are fans.
Some of my family are fans.
Most of my family is at the party.
Most of my family are at the party.
Some of my family are in their homes.

The sounds the car makes, the ways they irritate (singular idea stated with 2 phrases)--it is all the same idea no matter how you say it. Another needed example is one in which the noun that is clearly singular until the entire sentence is read, and something near the end changes the meaning of the noun so that it clearly represents a plural thing.



Rabu, April 01, 2015

Subject, Verb, Compliment and Modifier

Definition Of :
·         Verb  is “ a word that expresses action or a state of being”
Five Sentence consist verb :
1.       They are not watching television in the living room
2.       I forget to tell her about your message
3.       He is talking to me
4.       She goes to school
5.       They have been waiting here since six o’clock

·         modifier is “ something that provides additional information or that limits the meaning of a word or phrase”
Five sentence with modifier :
1.       they have been waiting here  ( Modifier of place)
2.       I’m here her sing a song tomorrow  ( Modifier of time)
3.       Andy is going to your house now ( Modifier of time)
4.       I have not been late lately (Modifier of manner)
5.       She hadn’t gone when you came to my house  ( Modifier of place)

·         Sentence contain subject, verb, and compliment modifier
Ex :  Andy   is going   to your house   now
           S          V        Compliment     modifier time

Rabu, Desember 31, 2014

PELANGGARAN ETIKA BISNIS PART II

PELANGGARAN ETIKA BISNIS DI BIDANG PRODUKSI DAN LINGKUNGAN
1.       Kasus produk “INDOMIE” di Taiwan
Akhir-akhir ini makin banyak dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku bisnis terutama menjelang mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar bebas diberi kebebasan luas kepada pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan diri dalam pembangunan ekonomi. Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk berkembang mengikuti mekanisme pasar. Dalam persaingan antar perusahaan terutama perusahaan besar dalam memperoleh keuntungan sering kali terjadi pelanggaran etika berbisnis, bahkan melanggar peraturan yang berlaku. Apalagi persaingan yang akan dibahas adalah persaingan produk impor dari Indonesia yang ada di Taiwan. Karena harga yang lebih murah serta kualitas yang tidak kalah dari produk-produk lainnya.
Kasus Indomie yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan telah memutuskan untuk menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran. Di Hongkong, dua supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari Indomie.
Kasus Indomie kini mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil Kepala BPOM Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus Indomie ini bisa terjadai, apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk Indomie.
A Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik menjelaskan, dua zat yang terkandung di dalam Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat) adalah bahan pengawet yang membuat produk tidak cepat membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik sendiri pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%. Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi manusia dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar Indomie mengandung nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam mie instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah. Tetapi bila kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan lain kecuali daging, ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko terkena penyakit kanker.
Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua negara berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.
KESIMPULAN
Bagi perusahaan Indomie sebaiknya memperbaiki etika dalam bidang produksi dan harus transparan mengenai kandungan-kandungan apa saja yang terkandung dalam produk mie yang mereka produksi. Karena akan memiliki dampak juga terhadap masyarakat dan lingkungan, oleh sebab itu pihak perusahaan harus transparan sehingga karena adanya informasi yang kurang bagi para konsumen tentang makanan yang akan mereka konsumsi, tidak akan menimbulan keresahan bagi masyarakat.
Seperti pada kasus Indomie masalah yang terjadi dikarenakan kurangnya pengetahuan dan informasi mengenai kandungan-kandungan apa saja yang terkandung dalam produk mie tersebut sehingga Taiwan mempermasalahkan kandungan nipagin yang ada dalam produk tersebut. Padahal menurut BPOM kandungan nipagin yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam mie instan tersebut, kadar kimia yang ada dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi. Selain itu standar di antara kedua Negara yang berbeda Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision dan karena Taiwan bukan merupakan anggota Codec sehingga harusnya produk Indomie tersebut tidak dipasarkan ke Taiwan.

2.      Pada Produk Johnson & Johnson

Johnson & Johnson adalah perusahaan manufacture yang bergerak dalam pembuatan dan pemasaran obat-obatan dan alat kesehatan lainnya di banyak negara di dunia. Tylenol adalah obat rasa nyeri yang di produksi oleh McNeil Consumer Product Company yang kemudian menjadi bagian anak perusahaan Johnson & Johnson. Tingkat penjualan Tylenol sangat mengagumkan dengan pangsa pasar 35% di pasar obat analgetika peredam nyeri, atau setara dengan 7% dari total penjualan grup Johnson & Johnson dan kira-kira 15 hingga 20% dari laba perusahaan itu.
  
Pada hari kamis tgl 30 September 1982, laporan mulai diterima oleh kantor pusat Johnson & Johnson bahwa adanya korban meninggal dunia di Chicago setelah meminum kapsul obat Extra Strength Tylenol. Kasus kematian ini menjadi awal penyebab rangkaian crisis management yang telah dilakukan oleh Johnson & Johnson. Pada kasus itu, tujuh orang dinyatakan mati secara misterius setelah mengonsumsi Tylenol di Chicago. Setelah diselidiki, ternyata Tylenol itu mengandung racun sianida. Meski penyelidikan masih dilakukan guna mengetahui pihak yang bertanggung jawab, J&J segera menarik 31 juta botol Tylenol di pasaran dan mengumumkan agar konsumen berhenti mengonsumsi produk itu hingga pengumuman lebih lanjut. J&J bekerja sama dengan polisi, FBI, dan FDA (BPOM-nya Amerika Serikat) menyelidiki kasus itu. Hasilnya membuktikan, keracunan itu disebabkan oleh pihak lain yang memasukkan sianida ke botol-botol Tylenol. Biaya yang dikeluarkan J&J dalam kasus itu lebih dari 100 juta dollar AS. Namun, karena kesigapan dan tanggung jawab yang mereka tunjukkan, perusahaan itu berhasil membangun reputasi bagus yang masih dipercaya hingga kini. Begitu kasus itu diselesaikan,Tylenol dilempar kembali ke pasaran dengan penutup lebih aman dan produk itu segera kembali menjadi pemimpin pasar.
KESIMPULAN
Kasus ini merupakan contoh kasus dimana perusahaan telah melanggar kode etis dibidang produksi dan dampaknya terhadap lingkungan sehingga tidak memperhatikan keselamatan dari konsumen. Oleh sebab itu, sebaiknya pihak perusahaan harus dapatmennaggulangi kasus ini dengan mengembalikan kembali kepercayaan konsumen bukan hanya sekedar menyelamatkan perusahaan. Namun dengan kesigapan perusahaan akhirnya perusahaan dapat membuktikan bahwa itu buan kesalahan perusahaan seutuhnya, tetapi ada pihak-pihak tertentu yang mencoba untuk menyabotase produk mereka.

KASUS PELANGGARAN ETIKA DIBIDANG MANAJEMEN SDM
1.       Pelanggaran Etika PT.KAI
Diduga terjadi manipulasi data dalam laporan keuangan PT KAI tahun 2005, perusahaan BUMN itu dicatat meraih keutungan sebesar Rp 6,9 Miliar. Padahal apabila diteliti dan dikaji lebih rinci, perusahaan seharusnya menderita kerugian sebesar Rp 63 Miliar. Komisaris PT. KAI, Hekinus Manao yang juga sebagai Direktur Informasi dan Akuntansi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan mengatakan, laporan keuangan itu telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik S. Manan. Audit terhadap laporan keuangan PT. KAI untuk tahun 2003 dan tahun-tahun sebelumnya dilakukan oleh Badan Pemeriksan Keuangan (BPK), untuk tahun 2004 diaudit oleh BPK dan akuntan publik.
Hasil audit tersebut kemudian diserahkan direksi PT. KAI untuk disetujui sebelum disampaikan dalam rapat umum pemegang saham, dan komisaris PT. KAI yaitu Hekinus Manao menolak menyetujui laporan keuangan PT. KAI tahun 2005 yang telah diaudit oleh akuntan publik. Setelah hasil audit diteliti dengan seksama, ditemukan adanya kejanggalan dari laporan keuangan PT. KAI tahun 2005.
Pajak pihak ketiga sudah tiga tahun tidak pernah ditagih, tetapi dalam laporan keuangan itu dimasukkan sebagai pendapatan PT KAI selama tahun 2005. Kewajiban PT. KAI untuk membayar surat ketetapan pajak (SKP) pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 95,2 Miliar yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak pada akhir tahun 2003 disajikan dalam laporan keuangan sebagai piutang atau tagihan kepada beberapa pelanggan yang seharusnya menanggung beban pajak itu. Padahal berdasarkan Standart Akuntansi, pajak pihak ketiga yang tidak pernah ditagih itu tidak bisa dimasukkan sebagai aset. Di PT. KAI ada kekeliruan direksi dalam mencatat penerimaan perusahaan selama tahun 2005.
Penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan sebesar Rp 24 Miliar yang diketahui pada saat dilakukan inventarisasi tahun 2002 diakui manajemen PT KAI sebagai kerugian secara bertahap selama lima tahun. Pada akhir tahun 2005 masih tersisa saldo penurunan nilai yang belum dibebankan sebagai kerugian sebesar Rp 6 Miliar, yang seharusnya dibebankan seluruhnya dalam tahun 2005.
Bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya dengan modal total nilai komulatif sebesar Rp 674,5 Miliar dan penyertaan modal negara sebesar Rp 70 Miliar oleh manajemen PT KAI disajikan dalam neraca per 31 Desember 2005 sebagai bagian dari hutang. Akan tetapi menurut Hekinus bantuan pemerintah dan penyertaan modal harus disajikan sebagai bagian dari modal perseroan. Manajemen PT. KAI tidak melakukan pencadangan kerugian terhadap kemungkinan tidak tertagihnya kewajiban pajak yang seharusnya telah dibebankan kepada pelanggan pada saat jasa angkutannya diberikan PT KAI tahun 1998 sampai 2003.
Perbedaan pendapat terhadap laporan keuangan antara komisaris dan auditor akuntan publik terjadi karena PT. KAI tidak memiliki tata kelola perusahaan yang baik. Ketiadaan tata kelola yang baik itu juga membuat komite audit (komisaris) PT. KAI baru bisa dibuka akses terhadap laporan keuangan setelah diaudit akuntan publik. Akuntan publik yang telah mengaudit laporan keuangan PT KAI tahun 2005 segera diperiksa oleh Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik. Jika terbukti bersalah, akuntan publik itu diberi sanksi teguran atau pencabutan izin praktek.
KESIMPULAN
Dalam kasus di atas, terdapat banyak kejanggalan yang ada pada laporan keuangan  yang menjadi hasil pekerjaan akuntan public tersebut. Kasus PT. KAI bermuara pada perbedaan pandangan antara Manajemen dan Komisaris, khususnya Komisaris yang merangkap sebagai Ketua Komite Audit dimana Komisaris tersebut menolak menyetujui dan menandatangani laporan keuangan yang telah diaudit oleh Auditor Eksternal. Dan komisaris meminta untuk dilakukan audit ulang agar laporan keuangan dapat disajikan secara transparan dan sesuai dengan fakta yang ada.

2.      Perusahaan Enron
Enron adalah perusahaan yang sangat bagus. Sebagai salah satu perusahaan yang menikmati booming industri energi di tahun 1990an, Enron sukses menyuplai energi ke pangsa pasar yang begitu besar dan memiliki jaringan yang luar biasa luas. Enron bahkan berhasil menyinergikan jalur transmisi energinya untuk jalur teknologi informasi. Kalau dilihat dari siklus bisnisnya, Enron memiliki profitabilitas yang cukup menggiurkan. Seiring booming industri energi, Enron memosisikan dirinya sebagai energy merchants: membeli natural gas dengan harga murah, kemudian dikonversi dalam energi listrik, lalu dijual dengan mengambil profit yang lumayan dari markup sale of power atau biasa disebut “spark spread“.

Pada beberapa tahun yang lalu beberapa perusahaan seperti Enron dan Worldcom yang dinyatakan bangkrut oleh pengadilan dan Enron perusahaan energi terbesar di AS yang jatuh bangkrut itu meninggalkan hutang hampir sebesar US $ 31.2 milyar, karena salah strategi dan memanipulasi akuntansi yang melibatkan profesi Akuntan Publik yaitu Kantor Akuntan Publik Arthur Andersen. Arthur Andersen, merupakan kantor akuntan public yang disebut sebagai “The big five” yaitu (pricewaterhouse coopers, deloitte & touché, KPMC, Ernest & Young dan Anderson) yang melakukan Audit terhadap laporan keuangan Enron Corp. Laporan keuangan maupun akunting perusahaan yang diaudit oleh perusahaan akunting ternama di dunia, Arthur Andersen, ternyata penuh dengan kecurangan (fraudulent) dan penyamaran data serta syarat dengan pelanggaran etika profesi. Akibat gagalnya Akuntan Publik Arthur Andersen menemukan kecurangan yang dilakukan oleh Enron maka memberikan reaksi keras dari masyarakat (investor) sehingga berpengaruh terhadap harga saham Enron di pasar modal. Kasus Enron ini menyebabkan indeks pasar modal Amerika jatuh sampai 25 %

WiL Te~Amo © 2008 Por *Templates para Você*